Home / Opini

Hari Aksara Internasional: Paradox Wajah Baru “BUTA AKSARA” di Era Digital

Metodik.id - Jurnalis

Senin, 08 September 2025 WIB

Oleh: Dr. Yunada Arpan

Dosen STIE Gentiaras Bandar Lampung


Setiap tanggal 8 September dunia memperingati Hari Aksara Internasional, Peringatan yang digagas UNESCO ini bukan sekadar ritual tahunan, melainkan momentum untuk mengingatkan kita betapa aksara—dan lebih jauh lagi, literasi—menjadi fondasi penting bagi peradaban.


Tanpa kemampuan membaca dan menulis, masyarakat akan sulit berpartisipasi dalam pembangunan. Namun, persoalan literasi di Indonesia tidak lagi sesederhana angka buta huruf, melainkan tantangan yang lebih kompleks: bagaimana membuat masyarakat benar-benar berdaya dengan pengetahuan di tengah derasnya arus informasi digital.


Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka buta huruf di Indonesia saat ini relatif kecil, hanya sekitar 1,5–2 persen dari total populasi. Angka ini menurun jauh dibandingkan awal era kemerdekaan, ketika hampir separuh penduduk Indonesia belum bisa membaca dan menulis. Capaian ini tentu patut diapresiasi.


Namun, di balik keberhasilan tersebut, masih ada kantong-kantong daerah di wilayah timur Indonesia, pedalaman, dan komunitas adat terpencil yang menghadapi kesulitan akses pendidikan dasar. Di sanalah buta aksara masih menjadi masalah nyata yang menuntut perhatian serius.


Jika kita menoleh ke negara berkembang lain, gambaran yang muncul sedikit berbeda. India, misalnya, masih menghadapi angka melek huruf dewasa sekitar 77 persen, dengan kesenjangan gender dan geografis yang tajam. Perempuan dan kelompok miskin di daerah pedesaan sering kali tertinggal jauh dalam hal akses pendidikan.


Nigeria bahkan lebih berat: tingkat melek huruf orang dewasa baru sekitar 62 persen, ditambah konflik berkepanjangan yang membuat anak-anak di wilayah utara sulit bersekolah.


Sementara itu, Bangladesh memiliki tingkat melek huruf sekitar 75 persen, tetapi menunjukkan contoh positif lewat peran aktif organisasi masyarakat sipil seperti Bangladesh Rural Advancement Committee (BRAC) dalam menggerakkan program literasi berbasis komunitas.


Dibandingkan dengan mereka, Indonesia jelas berada dalam posisi yang lebih baik secara kuantitatif. Namun, pekerjaan rumah kita berbeda. Negara-negara seperti India, Nigeria, atau Bangladesh masih berjuang memberantas buta huruf dasar, sedangkan Indonesia menghadapi tantangan literasi fungsional dan literasi digital.


Ironinya, kita sudah hampir bebas dari buta huruf, tetapi masih kesulitan menumbuhkan budaya membaca dan kemampuan berpikir kritis. Disinilah tantangan baru muncul. Indeks literasi nasional masih rendah, sementara minat baca masyarakat pun kerap dipertanyakan.


Survei Programme International Student Assessment (PISA) tahun 2018 menunjukkan kemampuan membaca siswa Indonesia berada di peringkat 74 dari 79 negara, jauh tertinggal dari rata-rata negara ekonomi maju dan demokratis Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Budaya baca kita masih kalah jauh dibandingkan budaya menonton atau bermain gawai.


Masalah literasi di Indonesia kini bergeser. Dalam pengertian tradisional, buta aksara berarti tidak bisa membaca dan menulis. Pada era pembangunan awal, isu ini menjadi fokus utama negara karena menyangkut kualitas sumber daya manusia. Kini, persoalan itu relatif teratasi.


Namun, muncul wajah baru yang lebih rumit yakni buta aksara digital. Buta aksara digital bukan berarti tidak bisa menggunakan gawai, melainkan tidak mampu membedakan mana informasi yang benar dan mana yang menyesatkan.


Mereka bisa membaca teks, tetapi tidak memahami konteks. Mereka aktif di media sosial, tetapi sering kali terjebak dalam jebakan clickbait, kabar bohong, atau narasi provokatif. Pada akhirnya, mereka melek huruf, tetapi gagap informasi.


Ironinya, di era digital, masyarakat Indonesia justru semakin terbuka dengan teknologi. Hampir setiap orang memiliki telepon pintar dan terhubung dengan internet. Namun, akses terhadap teknologi ini tidak otomatis menjadikan masyarakat lebih melek literasi.


Kita bisa melihat betapa mudahnya kabar bohong, teori konspirasi, dan ujaran kebencian menyebar luas di media sosial. Kemampuan membaca teks ternyata tidak selalu diikuti dengan kemampuan menelaah kebenaran informasi. Inilah wajah baru “buta aksara” di era digital: melek huruf tetapi gagap informasi.


Fenomena ini menjadi paradox zaman. Masyarakat hidup dalam arus deras informasi yang tiada henti, tetapi justru banyak yang terjebak dalam kabut misinformasi dan hoaks polarisasi, bahkan manipulasi informasi. Teknologi yang semestinya memperluas pengetahuan justru bisa melahirkan generasi yang terampil berselancar di dunia digital, tetapi lemah dalam berpikir kritis. 


Melek huruf memang penting, tetapi tidak cukup. Yang lebih mendesak adalah kemampuan memilah, memahami, dan mengolah informasi. Tanpa itu, kita menghadapi risiko besar: melahirkan masyarakat yang pandai membaca teks, tetapi gagal membaca realitas.


Maka, peringatan Hari Aksara Internasional perlu kita maknai lebih luas. Literasi adalah tentang daya hidup, tentang kemampuan seseorang memahami lingkungannya, membuat keputusan, dan berpartisipasi secara kritis dalam masyarakat. Pemerintah Indonesia sebenarnya telah mendorong Gerakan Literasi Nasional, termasuk literasi digital.


Namun, pekerjaan rumahnya masih panjang. Tidak cukup hanya menambah jumlah perpustakaan atau menyediakan akses internet. Literasi harus ditumbuhkan sebagai budaya yang hidup dalam keluarga, sekolah, dan komunitas.


Sekolah tentu menjadi garda depan. Guru tidak hanya dituntut mengajar anak didik membaca dan menulis, tetapi juga membimbing mereka mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Di sisi lain, keluarga memegang peran vital.


Anak-anak yang sejak kecil dibiasakan membaca buku atau mendengar cerita akan lebih mudah mencintai literasi ketika dewasa. Komunitas pun tidak kalah penting. Keberadaan taman bacaan masyarakat, klub membaca, atau ruang diskusi publik bisa menjadi ekosistem yang memperkaya literasi warga.


Selain itu, media massa juga memiliki tanggung jawab moral. Di tengah derasnya banjir informasi, media seharusnya menjadi penjernih, bukan justru menambah keruh.


Dengan mengedepankan jurnalisme berkualitas, media dapat ikut mendidik masyarakat untuk berpikir kritis dan menimbang informasi dengan sehat. Demikian pula pemerintah, perlu lebih serius memastikan akses pendidikan dasar yang merata, terutama di wilayah-wilayah yang masih menghadapi buta aksara.


Hari Aksara Internasional seharusnya tidak berhenti pada seremoni atau sekadar slogan tahunan. Ini momentum refleksi bersama: apakah bangsa ini benar-benar sudah melek aksara? Apakah masyarakat kita hanya bisa membaca teks, atau juga mampu membaca konteks? Apakah kita hanya menjadi konsumen informasi, atau juga pencipta pengetahuan?

Indonesia hanya bisa menjadi bangsa yang unggul jika masyarakatnya berdaya dengan pengetahuan.


Literasi tidak boleh dipandang sebagai program sesaat, melainkan gerakan kultural yang menembus batas usia, kelas sosial, dan ruang digital. Membaca dan menulis adalah pintu masuk, tetapi yang lebih penting adalah tumbuhnya kemampuan kritis, imajinasi, dan daya cipta.


Pada akhirnya, aksara adalah simbol. Ia melambangkan kebebasan dari kebodohan sekaligus jalan menuju peradaban. Memperingati Hari Aksara Internasional, kita diingatkan bahwa pekerjaan rumah literasi Indonesia masih panjang.


Tantangan abad ke-21 bukan hanya memberantas buta huruf, melainkan membangun bangsa yang benar-benar melek literasi—baik aksara maupun digital. Tabik..

Berita Lainnya